Kecintaan Sumilah pada anak-anak “luar biasa” di SLB Tunas Bhakti Pleret seperti tak terbatas. Cinta itu seperti magnet yang membuatnya selalu kembali meski pernah selama 13 tahun mengajar tanpa gaji.
Saat ditemui seusai mengajar di SLB Tunas Bhakti, Dusun Gunungkelir, Pleret Bantul pekan lalu sekolah sudah sepi. Murid pulang lebih awal selama bulan puasa.
Keceriaan begitu mendominasi ketika Harian Jogja berbincang dengan Sumilah. Sikapnya ramah dan bersahabat. Itulah sebabnya, anak-anak tunagrahita, tunarungu, tunadaksa dan autis di sekolah ini begitu sayang pada sosok Sumilah. “Butuh kesabaran dan dorongan kuat agar anak berkembang,” ujar perempuan kelahiran Bantul, 1969 ini.
Sumilah mulai mengajar pada 1990. Sebelumnya sempat bimbang karena tidak diterima kuliah di IKIP Jogja. Salah satu teman menyarankan menempuh pendidikan di Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa (SGPLB) Negeri Jogja. Dua tahun terhitung 1988-1990, ia meraih gelar D2. Ia kemudian melamar kerja di SLB Tunas Bhakti Pleret.
Menjadi guru di SLB bagi Sumilah adalah tantangan. Sebab, tak hanya mengajar teori lalu pulang. Ada ilmu, perhatian dan kasih sayang yang harus dicurahkan secara total layaknya mengasuh anak sendiri. “Anak ngompol, buang air besar di celana sampai banyak darah di rok karena haid itu sudah biasa,” kata ibu satu putra ini tersenyum.
Padahal, Sumilah masih muda kala itu, bisa memilih pekerjaan lain. Tapi pendiriannya ternyata sudah kukuh meskipun selama 13 tahun mengabdi sebagai guru wiyata bhakti tidak digaji sepeserpun. Untuk menutup kebutuhan harian, ia membuka warung sembako di rumahnya sambil menjual pakaian secara kredit.
Sore hari setelah mengajar, ia membina pramuka di beberapa sekolah dengan honor yang tidak banyak. Semua kegiatan itu masih dilakukan hingga sekarang. “Waktu itu cuma dikasih uang transport, sebulan Rp5.000, naik lagi Rp10.000. Terakhir tahun 2003, Rp50.000,” kenangnya.
Bekerja dengan senang hati dan ikhlas menjadi landasan utama Sumilah menjalani kesehariannya. Ia yakin, mengajar dengan tulus akan mendatangkan rezeki tersendiri. Pada 2003-2004, ia diangkat sebagai guru kontrak dengan gaji Rp460.000 per bulan. Tahun 2005, ia diterima sebagai CPNS setelah melalui ujian yang cukup sulit.
Keterampilan
Di SLB Tunas Bhakti, Sumilah memikul kewajiban besar, karena murid tak sekadar dititipkan oleh orangtuanya. Sebagai guru, ia memiliki tanggungjawab supaya kelak anak mandiri dan menghasilkan. “Keluhannya selama ini anak-anak di sekolahkan, tapi setelah itu di rumah nganggur dan merepotkan,” katanya.
Maka, SLB ini tak hanya mengajarkan menulis, membaca dan berhitung. Ketrampilan mereka diasah sesuai kemampuan seperti boga, menjahit, pertukangan, pembuatan sapu lidi, pembuatan tusuk sate, laundry, salon dan cuci motor. Anak-anak khususnya SMP dan SMA sudah mahir menerapkan ketrampilan itu. Bahkan salon dan laundry sudah dinikmati masyarakat luas. “Tiap hari ada saja yang nyalon di sini,” ujarnya.
Sebagai guru kelas dan ketrampilan, Sumilah tak berhenti memunculkan gagasan. Pada 2010, dibukalah kelas kewirausahaan jamur tiram atas inisiatifnya. Sebagai pengampu pelajaran ini, Sumilah menegaskan bahwa budidaya jamur tiram termasuk kegiatan mudah, bisa dilakukan setiap anak. Perawatan dan pemasarannya pun tidak sulit.
Di halaman belakang sekolah, dibangun rumah jamur berisi ribuan baglog jamur tiram. Tiap pagi, anak-anak dibagi; menyiram, memanen, menjual dan mengelola keuangannya. “Anak-anak pintar lho, bisa menghitung uang, bisa berjualan. Anak-anak mampu,” tuturnya, bangga.
Bahkan, jamur tiram produksi anak-anak luar biasa ini gaungnya sudah sampai luar kecamatan. Masyarakat berbondong-bondong membeli jamur tiram. “Dari sekolah harganya Rp8.000 per kilogram, anak-anak menjualnya Rp10.000, keuntungan itulah nantinya dibagi bersama.”
Juara
Kegigihan Sumilah ini dipandang pantas jadi contoh guru-guru SLB lainnya. Ia pun didaftar sebagai guru kreatif. Pada 2011, ia membawa nama harum DIY dengan membawa pulang juara 2 lomba guru kreativitas tingkat nasional.
Awalnya minder mengingat ini adalah pengalaman pertama. Ditambah, perjalanan mengikuti lomba di Jakarta tidak mulus. Jamur yang akan dipresentasikan di depan juri nyaris disita pihak bandara. “Karena jamur mengandung air, tapi saya tunjukkan surat tugas, akhirnya lolos. Tapi jamur yang tumbuh sudah patah sesampainya di Jakarta.”
Dengan presentasi seadanya tapi meyakinkan, ia berhasil meraih juara. Beberapa bulan kemudian, ia berkesempatan benchmarking (studi banding) SLB di Swedia, Norwegia dan Denmark.
Pengalamannya ke luar negeri itu tak lepas dari dorongan rekan-rekan tempatnya mengabdi, yakni SLB Tunas Bhakti yang pada tahun ajaran 2011/2012 menjadi salah satu SLB percontohan nasional. Sumilah percaya, setiap orang memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing. Orang tidak bisa menilai orang lain hanya dari sisi kelemahannya saja.
Termasuk anak-anak berkebutuhan khusus, baginya adalah anugrah Tuhan yang harus disayangi dan dituntun. “Mereka punya masa depan, mereka bisa dan ini nyata,” katanya sungguh-sungguh.
harianjogja.com
0 komentar:
Posting Komentar