RAMADAN
telah kita lewati. Ada yang senang, karena terbebas dari puasa yang
melelahkan. Namun, ada yang bersedih karena mereka merasakan betapa
beribadah di bulan Ramadan sangat berbeda dibandingkan bulan lainnya.
Setelah Ramadan berganti Syawal, bisakah kita meningkatkan kembali aktivitas ibadah sampai Ramadan berikutnya? Mari kita mengetahui dan memahami arti dari Syawal. Menurut bahasanya, Syawal adalah bulan peningkatan amal agar grafik ibadah di 11 bulan berikutnya tetap menanjak. Bulan Syawal
ini sebagai tolok ukur perubahan dan keistikamahan seseorang
pasca-Ramadan di dalam beribadah kepada Allah swt. Sebab, salah satu
ciri dan pertanda yang harus tertanam dalam kehidupan diri seorang
muslim ialah apa yang dinamakan ibadah, yang berarti merendahkan diri,
berkhidmat, patuh, dan taat.
Dengan
demikian, seorang muslim yang taat beribadah dan mampu mengubah dirinya
tetap konsisten atau lebih baik dibandingkan sebelumnya adalah tanda
bahwa mereka dikategorikan orang yang muttaqin (bertakwa). Karena dengan
ketakwaan itulah mereka bisa mempertanggungjawabkan segala amal ibadah
mereka kepada-Nya. Hal tersebut terkait dengan target dan sasaran puasa
Ramadan yang harus diinsyafi dan disadari oleh kaum muslimin bahwa
tujuan akhir puasa Ramadan adalah memperoleh derajat ketakwaan sesuai
dengan takaran keimanan seseorang.
Puasa Syawal
Untuk
itu, salah satu bentuk istikamah dalam beribadah pasca-Ramadan,
Rasulullah saw. menganjurkan untuk berpuasa enam hari di bulan Syawal
yang bernilai seperti puasa selama setahun. Sebagaimana sabda beliau:
"Barang siapa puasa dalam bulan Ramadan, kemudian ia berpuasa pula enam
hari dalam bulan Syawal, maka nilai pahalanya sama dengan puasa selama setahun" (H.R. Muslim)
Puasa
enam hari di bulan Syawal merupakan cara pembiasaan agar aktivitas
ibadah selama Ramadan tetap terjaga dan tidak hilang sekaligus, seiring
berlalunya bulan yang suci tersebut. Sayangnya, umat Islam setelah
melaksanakan kewajiban puasa baik secara sadar atau tidak sadar (mungkin
termasuk diri kita) hanya berorientasi pada kesemarakan dalam
menjalankannya tanpa memahami dan menghayati dari makna yang terkandung dalam puasa.
Hal ini
dibuktikan secara nyata dan kasatmata betapa selama Ramadan banyaknya
dari kaum muslimin senantiasa melantunkan ayat-ayat suci Alquran, bahkan
di masjid dan musala selalu melantunkannya melalui pengeras suara, atau
sehabis sahur sambil menunggu waktu subuh kita melaksanakan salat
malam, dan amalan-amalan lain yang positif. Bahkan selama Ramadan tumbuh
jiwa-jiwa sosial kita terhadap sesama manusia. Namun, pasca-Ramadan
apakah semakin kuatnya hubungan vertikal dan hubungan horizontal selalu
selaras dengan kehidupan kita? Atau justru sebaliknya, terdapat jarak
tingkah laku manusia dengan esensi tujuan agama?
Maka,
dengan adanya ibadah amaliah yang sudah menjadi pembiasaan selama
Ramadan, hendaknya dijadikan bekal dalam memasuki masa-masa berikutnya
yang perlu dipertahankan lebih-lebih ditingkatkan. Sebab, bekal tersebut
sangat penting sebagai benteng pertahanan yang kokoh dari keimanan kita
kepada Allah swt. karena kadar keimanan seseorang bisa meningkat kadang
menurun sesuai dengan amal perbuatan baik atau buruk. Dan Allah swt.
lebih mencintai orang yang imannya kuat dibandingkan yang lemah.
Sebagaimana sabda Rasulullah saw.: "Seorang beriman yang kuat lebih baik
dan lebih dicintai Allah daripada seorang yang beriman lemah". (H.R.
Bukhori dan Muslim).
Niat Baik
Jadi
seorang muslim masih mungkin memperoleh kemajuan spiritual dan sosial
setelah Ramadan. Juga terus menyemai niat baik dan menghindari perbuatan
yang tak terpuji. Hal ini selaras dengan isyarat Rasulullah saw. kepada
umatnya untuk mengawali perbuatannya dengan niat yang baik. Niat baik
mengubah kebiasaan menjadi ibadah. Niat baik menimbulkan perubahan yang
sangat besar dalam hidup manusia. Jadi apabila kita telah mengetahui
bahwa aktivitas-aktivitas selama Ramadan menjadi kesukaan dan dilakukan
di masa-masa mendatang bisa menjadi ibadah semata-mata karena kesucian
niat, mudah bagi kita untuk terus menerus patuh dan taat kepada Allah
swt.
Namun
sebaliknya, tiadanya niat baik untuk mengubah diri kepada yang lebih
baik di masa-masa mendatang akan semakin tenggelam dalam hawa nafsu dan
tergelincir ke dalam kehidupan penuh dosa dan dekadensi moral. Tak
ubahnya memuaskan nafsu kebinatangan mereka dan tetap hidup bagai
binatang.
Hendaknya
di setiap kehidupan kita dalam menjalankan amal perbuatan harus
didasari dengan niat dan tekad yang kokoh. Maka alangkah besarnya
kerugian yang akan diderita oleh manusia khususnya umat Islam jika tak
mengubah orientasi hidupnya dan mensucikan niatnya. Karena dengan
memperbaiki orientasi hidupnya dan mensucikan niat itu sajalah yang bisa
membedakan antara amal perbuatan baik dengan amal perbuatan jahat.
Sebenarnya
tujuan utama seorang muslim ialah berusaha untuk mendapatkan
kesalamatan hidup di dunia maupun di akhirat. Hakikat dan tujuan hidup
inilah yang merupakan kendali dan rem kontrol agar di dalam kehidupannya
senantiasa bersikap hati-hati, tidak akan berbuat semau sendiri. Sebab,
hidup di dunia hanya sebagai transit belaka menuju kehidupan yang lebih
abadi kelak di akhirat nanti. Oleh sebab itu, agama Islam memerintahkan
umatnya guna mempersiapkan diri dengan bekal yang cukup untuk kehidupan
yang tak terbatas tersebut, yaitu akhirat.
Berbahagialah
orang yang menyadari hakikat dan tujuan hidupnya, dan berusaha
menjalani hidupnya dengan berpegang teguh pada pedoman dan agama berupa
tuntunan Allah swt. dan Rasul-Nya, karena dengan dua tuntunan itu, yaitu
Alquran dan Alhadis seorang muslim akan selamat dunia dan akhirat.
Dengan demikian, hendaknya bulan Syawal
ini dijadikan momentum untuk meningkatkan ketakwaan dan amal perbuatan,
itulah penilaian Allah swt. kepada manusia. Bertambah banyak amal
kebajikan yang diperbuatnya, akan bertambah mulia orang tersebut di mata
Allah swt. Sebaliknya, setiap amal kejelekan yang diperbuatnya,
nilainya akan hilang dan murka Allah jua balasannya.http://www.lampungpost.com
0 komentar:
Posting Komentar