PERASAAN TERTARIK YANG MENGELORA
Orang mengira bahwa perasaan tertarik yang menggelora
adalah bukti cinta yang sungguh-sungguh. Dengan perasaan itu orang
berani datang mengatakan mencintai sesorang dan mengajak menikah karena
perasaan yang kuat akan menjadi pengikat yang kuat kesatuan mereka.
Apalagi kalau perasaan itu bersift timbal balik.
Akan tetapi harus disadari perasaan itu bersifat
menikmati. Dengan demikian perasaan cenderung egois. Perasaan ketika
diberi tempat utama akan membuat pikiran meredup dan menguasai kehendak.
Pada waktu itu, seseorang tidak bisa berpikir dengan
lengkap. Orang tidak bisa menilai bahwa pernikahan itu memiliki dimensi2
yang luas. Pernikahan menyatukan 2 pribadi, bahkan juga seringkali
menyatukan 2 kelarga besar.
Karena itu begitu banyak yang harus dibicarakan, untuk
itu tidak cukup dengan perasaan, bahkan sekalipun perasaan itu begitu
menggelora.
Perasaan itu karena bersifat menikmati, maka mudah
meredup dan hilang, ketika harus berhadapan dengan kerugian atau luka.
Padahal dalam kesatuan 2 pribadi itu pasti akan terjadi luka melukai dan
memerlukan adanya pengorbanan untuk terjalinnya kesatuan yang mendalam.
Maka tidak heran, pernikahan yang nampkanya dimulai
begitu indah cepat sekali menjadi suram, karena perasaan yang hilang.
Orang mengatakan tidak ada cinta lagi.
Perasaan penting, tetapi harus disertai pemikiran
yang mendalam. Pikiran harus dipakai untuk mencari apakah ada
nilai-nilai yang cocok atau saling menerima. Pikiran harus dipakai untuk
menilai apakah punya kemampuan untuk menanggung kekurangan dan
berkorban untuk pasangannya.
Perasaan adalah alat untuk menikmati hubungan, sehingga memberi keindahan, tetapi bukan dasar yagn kuat untuk menyatukan.
MENDAPATKAN PENGGANTI ORANG TUA
Ada seorang pria yang ingin menikahi seorang wanita
karena ia seperti ibunya. Demikian juga seorang wanita ada yang mau
menikah dengan seorang pria karena pria tersebut menyerupai ayahnya.
Dia seolah menemukan orang yagn bisa mengerti dan
menerima, serta bisa memperlakukannya dengan tepat. Dan dengan
menemukan orang seperti itu, dia merasa akan berbahagia bila menikah
dengannya.
Bisa jadi pernikahan dengan dasar demikian bisa
berjalan. Namun perlu disadari bahwa setiap orang memiliki kekhususan,
tidak bisa menjadi orang lain. Seorang wanita tidak bisa menjadi ibu.
Mungkin dia punya sifat yagn sama, tetapi dia punya pengalaman hidup
yagn berbeda. Pengalaman hidup ini membentuk kepribadiannya secara khas.
Karena itu dia tidak akan bisa berlaku sebagai ibu
atau ayahnya. Kalau dituntut seperti itu pada suatu saat dia akan
mengecewakan, dan yang menuntut juga akan kecewa. Sebab dia akan
menampakkan kehidupannya sendiri berdasar kepribadian yang terbentuk
selama ini.
Mungkin seseorang mengagumi ayah atau ibunya, dan
pingin memiliki suami atau isteri seprti orang tuanya. Namun perlu
disadari hal itu tidak boleh dimutlakan. Orang-orang yang memiliki
keterikatan dengan orang tuanya ( ayah atau ibunya ), perlu menilai
dirinya dan perlu bertumbuh supaya kebergantungannya untuk hidup dengan
pribadi seperti ayah atau ibunyan itu hilang.
Seorang yang mau menikah harus siap menerima pribadi
pasangannya secara khas, jangan disamakan engan orang lain. Dan dengan
demikian dia akan bisa menikmati hubungan dengan pribadi yang khas itu
seumur hidupnya.
MENDAPATKAN ORANG YANG MIRIP DENGAN KEKASIHNYA YANG LALU
Seorang yang kehilangan kekasih yang dulu sangat
dicintainya, mengharapkan mendapat orang yagn sama. Ketika dia merasa
menemukan orang itu, maka dia ingin menikahinya.
Namun tentu dia akan segera kecewa, sebab orang tersebut tidak akan persis sama dengan kekasihnyan yang lalu.
Sebagaimana penjelasan sebelumnya, setiap orang
memiliki kepribadian yang khas. Jadi dia harus menikah dengan pribadi
yang khas itu.
Karena iut ketika seseorang putus dengan kekasihnya,
apapun penyebabnya, dia perlu cepat menyelesaikannya. Jangan biarkan
sakit hati berkelamaan, atau terus mengharapkan kekasih itu.
Apabila dalam situasi sakit itu dia ketemu dengan
orang lain, dan dia merasa cocok, besar kemungkinan dia akan
mengharapkan orang tersebut berlaku seperti kekasih lamanya. Dan tentu
dia akan kecewa, pasangannya juga akan kecewa.
MENDAPATKAN ORANG UNTUK MENGOBATI LUKANYA
Tidak sedikti orang yagn terluka.
Pertama dia mungkin terluka karean hubungan pacaran
yang terputus. Mungkin dia dikhianati , ditinggal, atau karena alasan
orang tua. Keadaan terluka ini sangat berbahaya untuk menjalani
pernikahan. Sebab pernikahan akan dipakai untuk mengobati luka itu.
Pasangannya akan diperlakukan sebagai obat atau tabib.
Pasangan yang diperlakukan demikian tentu akan terluka
juga pada akhirnya. Sebab dia sendiri membutuhkan obat dari luka-luka
yang dialami dari perjalanan hidupnya di masa lalu.
Pernikahan seperti itu memiliki dasar yang sangat
rapuh, sebab pernikahan harus didasarkan kepada keputusan untuk saling
memberi dan menerima, saling berkorban. Pernikahan juga punya maksud
untuk mewariskan nilai-nlai kehidupan kepada anak2nya.
Pernikahan yang dimaksudkan untuk mengobati akan
merusakkan pernikahan itu sendiri. Pernikahan memang juga punya fungsi
untuk saling mengobati, tetapi itu saling dan merupakan bagian dari
fungsi2 kehidupan pernikahan yang besar. Pernikahan tidak dimaksudkan
untuk menjadi lembaga terapi.
Celakanya , dalam hubungan pria wanita ada sindroma
“juruselamat”. Banyak orang ingin menjadi penyembuh, terapis, atau
pembebas bagi pasangannya. Ketika bertemu dengan orang yagn bermasalah,
apalagi luka2 karena putus cinta, akan merasa sangat berarti apabila
bisa menyembhkannya. Dan dia berpikir dengan menikah bisa menyembuhkan.
Jadi seringkali pernikahan bisa terjadi antara “pasien”
dan “terapis” . Ada kebergantungan antara keduanya. Tetapi karena
pernikahan itu punya kebutuhan dan tanggung jawab yang lebih luas, maka
pernikahan seperti ini tentu akan terjerumus dalam keadaan saling
melukai satu sama lain.
Pernikahan yang didasarkan pada relasi seperti di
atas akan membahayakan anak2. Anak2 yang lahri tidak akan mewarisi
nilai-nilai tetapi akan mengalami akibat dari luka-luka orang tuanya
itu.
Ke dua, luka-luka karena hubungan dengan orang tua.
Apabila seseorang masih memiliki luka-luka batin karena perlakuan orang
tua, lalu menikah, maka pernikahan itu tentu akan membuat luka
pasangannya dan melukai dirinya juga. Keterangannya seperti yang telah
ditulis di atas.
Sebelum memutusakn menikah, hendaknya dia telah disembuhkan dari luka-luka itu,
Dengan demikian dia akan memasuki pernikahan dengan
pikiran, perasaan, dan kehendak yang sehat, dan mampu menjadi pribadi
yang utuh.
Dengan kepribadian yang utuh, dia siap untuk saling menerima, saling memberi, dan saling mendukung.
kompasiana.com
0 komentar:
Posting Komentar