
Bagi yang lupa apa itu definisi mumi, disini saya ingatkan kembali. Mumi adalah sebuah mayat yang diawetkan, dikarenakan perlindungan dari dekomposisi oleh cara alami atau buatan, sehingga bentuk awalnya tetap terjaga.
Tubuh mumi ditempatkan di ruangan yang sangat kering atau sangat dingin, atau ketiadaan oksigen, atau penggunaan bahan kimiawi.
Nun jauh di pedalaman Papua, memang menjadi tradisi memumikan jenazah dengan cara tradisional. Di Distrik Kerulu, dekat Wamena, wisatawan bisa melihat mumi berumur 278 tahun.
Di kawasan Lembah Ballem di Kabupaten Jayawijaya, Papua, ada 6 mumi yang cara pengawetannya tradisional. Salah satu mumi yang populer ialah Wim Motok Mabel. Wim sendiri berarti perang dan Matok artinya panglima, Mabel adalah nama aslinya.
Mumi ini dahulunya merupakan panglima perang yang sangat disegani di Distrik Kerulu, bahkan seluruh Lembah Ballem. Ini yang menjadi alasan penduduk setempat mensakralkan Wim Motok Mabel.
Mumi ini disimpan di Honai (rumah adat Suku Dani), tubuhnya hitam dan tampak ringkih. Tubuhnya dalam posisi meringkuk, tetapi wajahnya menengadah ke atas. Ada mahkota di kepalanya juga untaian tali di leher. Tali itu teruntai seperti kalung dan rupanya sebagai penanda usia. Tidak percaya? hitung saja sendiri jumlah tali yang terikat di lehernya!
Kata lelaki keturunan ke-7 sang mumi, Wim Matok Mabel ini diawetkan dengan cara diasap dan dibalur lemak babi. Ketika ia baru meninggal dan digelar berbagai upacara, dimulailah proses pengasapan.
Jauh dari pemukiman, mumi itu dimasukkan ke dalam Hondai. Yang menarik ialah pengasapan dalam Hondai berlangsung sekitar 200 hari sebelum seluruh warga desa melangsungkan upacara Ap Ako untuk menyambut sang mumi kembali ke desa mereka.
Tapi, apa ya alasan Wim Matok Mabel dimumikan? Ternyata selain dipercaya membawa keberuntungan, mumi leluhur juga disakralkan karena beberapa alasan. Diantaranya mumi bisa membawa kemenangan saat perang, juga membawa keuntungan ekonomi bagi desa. Keuntungan ekonomi? Jelas, banyak wisatawan yang datang karena rasa penasaran.
wisata.kompasiana.com
0 komentar:
Posting Komentar