Kamis, 04 Agustus 2011

Dari Kotagede kerajaan Islam pertama

Berjalan menyusuri Kotagede adalah berjalan kebelakang untuk kembali melihat sejarah awal mula Islam berkembang di Jawa, dan tak kalah pentingnya tentang keistimewaan Jogja yang kini nasibnya masih terkatung-katung.

Seperti yang dilakukan oleh Sofianto, 36, warga Magelang, dan Badrus, 30 warga asal Cirebon yang Rabu(3/8) siang kemarin menyempatkan diri untuk salat dzuhur di Masjid Besar Mataram, Kotagede dan berjalan-jalan di kompleks tersebut.

Siang itu, mereka yang juga sebagai anggota Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda DIY kebetulan melintasi kompleks tersebut saat menjalankan tugasnya.

Karena adzan dzuhur berkumandang, mereka lalu mencari letak masjid tersebut. Mereka memarkir mobilnya, lalu wudlu dan memasuki masjid.

Berkunjung ke kompleks tersebut baru pertama kalinya mereka lakukan. Badrus mengaku sebelumnya hanya membaca buku- buku saja untuk mengetahui sejarah berkembangnya Islam di Jawa. Dan siang itu, dia baru menyempatkan diri memasuki kompleks tersebut bersama Sofianto yang juga mengaku penasaran.

Setelah usai salat, mereka kemudian memasuki kompleka makam. Mereka terhenti di Balai Pencaosan-tempat para abdi dalem berjaga.

Niatnya mereka memasuki makam, tapi karena masa puasa, makam tersebut tutup. Karena itu, mereka hanya berkeliling. ”Saya tidak tahu kalau waktu puasa tidak boleh masuk,” ujarnya kepada Harian Jogja.

Sebagai orang Cirebon, dia melihat ada perbedaan yang signifikan dengan kasultanan di tanah kelahirannya itu. Menurutnya hal yang paling kentara adalah titah raja. ”Raja disini masih dapat memengaruhi rakyatnya. Kalau di tempat saya tidak,” ucapnya.

Dari buku yang dibacanya, dia mengaku terkagum-kagum dengan Mataram. Pasalnya, katanya, negara Mataram adalah satu-satunya negara yang waktu itu mau menyatakan diri bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). ”Mataram adalah satu-satunya negara yang mau bergabung dan ini sangat istimewa,” kata dia.

Lain halnya dengan apa yang dilakukan oleh Handani,50 warga Hargobinangun, Pakem, Sleman. Berziarah ke komplek tersebut dilakukannya untuk mencari berkah. Dia mengaku sudah berada di kompleks itu selama tiga minggu sambil berpuasa. Ia juga hanya membawa bekal pakaian seadanya.

”Di sini kan raja pertama Mataram berada. Disini ini tempat ritual terakhir saya lakukan,” ungkap dia.

Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta bagian Puroluyo Mas Bekel Hastano menjelaskan kompleks tersebut didirikan 1579 oleh Ki Ageng Pemanahan, orang yang diberi hadiah Hutan Mentaok oleh Kanjeng Sultan Hadiwijaya atau Joko Tingkir karena berhasil membunuh Arya Penangsang.

Di Hutan Mentaok itu, lalu dibangun tempat tinggal keluarga Ki Ageng Pemanahan. Kurang lebih selama 10 tahun berdirinya bangunan tempat tinggal tersebut, anak Ki Ageng Pemanahan yang bernama Panembahan Senopati akhirnya mendirikan Kerajaan Mataram Islam di Kota Gede.(Wartawan Harian Jogja/Andreas Tri Pamungkas)

harianjogja.com

0 komentar:

Posting Komentar