View Merapi Merbabu

Sejoli gunung Merapi Merbabu tampak cerah menghijau.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Senin, 30 Mei 2011

Pasar Ngasem Dulu dan Sekarang

Daya tarik sektor pariwisata di Yogyakarta bukan hanya ada pada Keraton, Malioboro, atau bangunan-bangunan tua bersejarah yang tersebar di wilayahnya saja, tetapi juga pada tempat-tempat yang digunakan oleh masyarakatnya dalam beraktivitas sehari-hari. Salah satu lokasi/ tempat masyarakat Yogyakarta menjalankan aktivitas yang juga sebagai salah satu lokasi wisata legendaris adalah Pasar Ngasem.Pasar ngasem merupakan pasar tradisional yang khusus menjual hewan peliharaan terutama burung.

Tetapi selain burung juga terdapat hewan peliharaan yang lain yang dijual, antara lain kelinci, marmut, anjing, kucing, musang, monyet, ayam, penyu, biawak, tokek, iguana, mencit, jangkrik dan bahkan ular. Pasar ini dulu terletak di Kampung Ngasem dan Kampung Taman, Kecamatan Kraton, sekitar 400 meter arah barat dari Keraton Kasultanan Yogyakarta sebelum akhirnya direlokasi ke Pasar Satwa dan Tanaman Hias Yogyakarta (PASTHY) di kawasan Dongkelan, Jl. Bantul KM 1, Yogyakarta.

Menurut sejarahnya, kawasan Pasar Ngasem dahulunya merupakan danau yang sering digunakan Sultan Hamengku Buwono II berpelesir sambil melihat-lihat keindahan keraton dari luar benteng. Namun, sekian waktu berjalan danau tersebut beralih fungsi menjadi perkampungan dan di tengah-tengah kampung tersebut menjadi sebuah pasar yang khusus menjual burung. Keradaan Pasar Ngasem sendiri juga bisa memberikan info penting tentang apa yang dianggap bergengsi di masa kerajaan dahulu. Setelah kuda sebagai alat transportasi dan keris sebagai senjata, burung ada di tempat ketiga sebagai pengukur status sosial.

Pasar Ngasem berdasarkan sejarahnya telah ada sejak tahun 1809. Hal tersebut dibuktikan dengan sebuah foto yang menunjukkan Pasar Ngasem dengan barang dagangan utamanya berupa burung. Kemudian sekitar tahun 1960-an, pasar ini semakin identik dengan burung setelah pedagang burung dari pasar Beringharjo dipindahkan ke tempat ini. Bukan hal mengherankan bila banyak turis menyebut pasar ini dengan bird market karena areal perdagangan burung sepertiga dari luas pasar.

Setelah para pedagang di pasar Ngasem direlokasi ke Pasar Satwa dan Tanaman Hias Yogyakarta (PASTHY) di kawasan Dongkelan, Jl. Bantul KM 1, Yogyakarta pada 22 April 2010 lalu, pasar Ngasem terus direnovasi oleh pemerintah daerah Yogyakarta dan akan segera dibuka kembali. Pasar yang dulu dikenal dengan pasar burung dan hewan serta sayuran kini berubah menjadi pusat kerajinan dan seni serta gerbang masuk ke tamansari watercastle.

Pembangunan Pasar Ngasem sebagai Pusat Kerajinan dan Seni Yogyakarta (PKSY) diharapkan mampu mendongkrak jumlah kunjungan wisatawan untuk datang ke Yogyakarta. Selain sebagai PKSY, lahan yang pernah digunakan sebagai Pasar Ngasem ini nantinya akan dijadikan sebagai pintu gerbang utama masuk ke obyek wisata Tamansari Yogyakarta.

Kawasan Pasar Ngasem ini memang difungsikan sebagai gerbang utama untuk masuk ke water castle Tamansari. Nantinya Tamansari dan Pasar Ngasem akan menyatu dan pintu masuk utamanya dipindah di utara. Menurut rencana, PKSY ini akan di launching Juni 2011 mendatang. Di kawasan ini juga masih ada pedagang pasar tradisional yang akan ditambah dengan pembangunan pasar suvenir dan teater pertunjukan. Ke depan, pasar ini akan dibelah menjadi dua, yaitu pasar cinderamata di sisi timur dan pasar tradisional di sisi barat.

Renovasi Pasar Ngasem ini tentunya sangat berdampak positif terhadap peningkatan jumlah kunjungan wisatawan di kawasan Tamansari dan Kraton Yogyakarta. Pasar Ngasem akan lebih banyak menonjolkan potensi seni yang terintegrasi dengan kawasan Tamansari dan Keraton yang bernuansa heritage. Dinas Pariwisata DIY sendiri juga menyambut baik penataan kawasan Ngasem Dan Tamansari ini, selain membuat kawasan Tamansari dan Ngasem lebih nyaman, juga dapat menambah daya tarik wisatawan dan penyebaran minat wisata dan belanja di Pasar Satwa dan Tanaman Hias Yogyakarta, pasar yang merupakan hasil relokasi dari Ngasem.

sumber:
http://gudeg.net/id/news/2010/04/5494/Kamis-Pasar-Ngasem-Boyongan-ke-Dongkelan.html
http://bisnisukm.com/menyusuri-wisata-budaya-pasar-ngasem.html
http://maharatu.com/news/detail/id/712/Pasar_Ngasem_Gerbang_Masuk_Tamansari

Jumat, 27 Mei 2011

Pedetnya berkaki tiga, Ahmadi tak tidur

Warga Dusun Sukun, Desa Patalan, Kecamatan Jetis sejak dua hari terakhir ini dihebohkan pedet berkaki tiga milik warga setempat, Ahmadi, 58, yang lahir pada Selasa (24/5) siang lalu.

Siang itu sekitar pukul 14.00 WIB, Ahmadi tidak sedang berada di rumah. Ia bersama istrinya, Sudalmi, 53, tengah berobat. Kelahiran pedet berkaki tiga itu diketahui oleh tetangganya. Kaget, tetanganya itu kemudian memanggil warga lainnya dan mendadak warga mengerumuni kandang sapi Ahmadi yang terdapat di perkarangan rumahnya di RT63.

“Saya baru pulang jam empat sore. Sampai rumah, warga sudah banyak yang berkumpul. Awalnya heran kenapa tapi setelah saya masuk, ternyata pedet saya berkaki tiga. Saya kaget,” ujar dia saat ditemui Harian Jogja di rumahnya, Rabu (25/5) kemarin.

Setelah kelahiran pedet itu, dia mengaku belum tidur karena warga banyak yang berdatangan dan harus menunggui pedetnya itu untuk memberikan susu. “Induk sapi belum lancar susunya sehingga saya mesti beli,” katanya.

Sampai Rabu kemarin Ahmadi sudah membeli susu sapi segar sebanyak tiga liter. Jika kondisi tak berubah, dia mengaku bakal kesulitan untuk memelihara sapi tersebut. “Satu liter sapi Rp6.000. Dalam sehari bisa tiga liter. Coba berapa dalam sebulan? Bisa lebih dari uang makan saya,” keluhnya.

Selama ini dia hanya menggaduh sapi saja, yang ketika melahirkan pedet, dia akan bagi hasil dengan tuannya. Dengan adanya kondisi pedet itu, bapak dua anak itu menanggung biaya perawatannya sendiri padahal sebagai petani dia juga tak memiliki penghasilan lebih.

Pendapatannya hanya cukup untuk makan sehari- sehari. “Saya pun tak punya sawah. Kalaupun bertani hanya sebagai buruh saja,” ujar Ahmadi. Bobot pedet itu sekitar 20 kilogram (kg). Ahmadi berharap ada uluran dari dinas terkait. Kalaupun memanfaatkan warga yang berdatangan dengan memungut retribusi,dia mengaku tak tega. “Tak sampai [hati] mas,” ucapnya.(Wartawan Harian Jogja/Andreas Tri Pamungkas)

http://harianjogja.com/beritas/detailberita/HarjoBerita/23980/pedetnya-berkaki-tiga-ahmadi-tak-tidur-view.html

Menikmati Malam di Yogya bersama Kopi Joss

Tahukah anda sebuah tempat di Yogya tempat mahasiswa,komunitas cyber seperti blogger dan chatter, wartawan, seniman,budayawan, tukang becak, hingga penjaja cinta bisa berbincang santai?
Jika anda pernah belajar di Yogyakarta, dimana anda dulu berembug bersama teman tentang tema skripsi atau tugas sekolah? Di antara sekian tempat yang anda sebutkan, pasti angkringan Lik Man yang terletak di sebelah utara Stasiun Tugu menjadi salah satunya. Wajar, sebab tempat itu telah menjadi favorit banyak orang.

Angkringan Lik Man dikelola oleh putra Mbah Pairo, penjual angkringan pertama di Yogyakarta. Memiliki minuman khas Kopi Joss, angkringan ini pernah menjadi tempat melewatkan malam sejumlah tokoh terpandang di Indonesia.

Anda bisa berjalan ke utara dari arah Malioboro atau Stasiun Tugu hingga menemukan jalan kecil ke arah barat, kemudian berbelok. Anda akan menemukan angkringan yang dimaksud tak jauh dari belokan, tepatnya di sebelah kiri jalan. Cirinya, ada dua buah bakul yang dihubungkan dengan bambu, anglo dengan arang yang membara, serta deretan gelas yang ditata.

Angkringan Lik Man merupakan angkringan legendaris, sebab pedagangnya
adalah generasi awal pedagang angkringan di Yogyakarta yang umumnya berasal
dari Klaten. Lik Man yang bernama asli Siswo Raharjo merupakan putra Mbah Pairo,
pedagang angkringan pertama di Yogyakarta yang berjualan sejak tahun 1950-an.
Warung berkonsep angkringan yang dulu disebut 'ting ting hik' diwariskan kepada
Lik Man tahun 1969. Sejak itu, menjamurlah angkringan-angkringan lain.

Begitu sampai di angkringan yang buka pukul 18.00 ini, anda bisa memesan bermacam minuman yang ditawarkan, panas maupun dingin. Pilihan minuman favorit adalah Kopi Joss, kopi yang disajikan panas dengan diberi arang. Kelebihan kopi itu adalah kadar kafeinnya yang rendah karena dinetralisir oleh arang. Tak usah khawatir itu hanya mitos, sebab Kopi Joss lahir dari penelitian mahasiwa Universitas Gadjah Mada yang kebetulan sering nongkrong di Angkringan Lik Man.

Berbagai makanan juga disediakan, ada sego kucing berlauk oseng tempe dan sambal teri hingga gorengan dan jadah (makanan dari ketan yang dipadatkan berasa gurih) bakar. Sego kucing di Angkringan Lik Man yang harganya Rp 1.000,00 tak kalah lezat dengan masakan lainnya sebab nasinya pulen dan oseng tempe dan sambal terinya berbumbu pas. Menikmati sego kucing yang selalu disajikan dalam keadaan hangat dengan lauk gorengan atau sate telur selain lezat juga tak menguras uang.

Jika menjumpai makanan dalam keadaan dingin, anda dapat meminta penjual untuk menghangatkannya dengan cara dibakar. Lauk pauk yang menjadi lebih lezat ketika dibakar adalah mendoan (tempe goreng tepung), tahu susur, tempe bacem, endas (kepala ayam) dan tentu saja jadah. Bila tak nyaman makan dengan bungkus nasi saja atau anda makan dalam jumlah banyak, penjual angkringan menyediakan piring untuk menyamankan acara makan anda.

Anda bisa memilih tempat duduk di dua tempat yang disediakan. Jika ingin berbincang dengan pedagang, anda bisa duduk di dekat bakul atau anglo. Selain dapat bercerita dengan Lik Man, duduk di dekat bakul akan mempermudah jika ingin tambah makanan. Tetapi bila ingin lebih berakraban dengan teman, anda bisa duduk di tikar yang digelar memanjang di trotoar seberang jalan. Tak perlu khawatir ruang yang tidak cukup sebab panjang trotoar yang digelari tikar hampir 100 meter.

Sambil duduk, anda diberi kebebasan untuk berbicara apapun. Orang-orang yang sering datang ke angkringan ini membicarakan berbagai hal, mulai tema-tema serius seperti rencana demostrasi dan tema edisi di majalah mahasiswa hingga yang ringan seperti kemana hendak liburan atau sekedar tertawaan tak jelas yang sering disebut dengan gojeg kere. Tak ada larangan formal, tetapi yang jelas perlu menjaga budaya angkringan, yaitu tepo sliro (toleransi), kemauan untuk berbagi dan biso rumongso (menjaga perasaan orang lain). Bisa diartikan tak perlu berebut tempat dan menghargai orang lain yang duduk berdekatan.

Sejumlah tokoh terpandang telah menjadikan Angkringan Lik Man sebagai tempat menikmati malam. Ada Butet Kertarajasa, Djaduk Ferianto, Emha ainun Nadjib, Bondan Nusantara hingga Marwoto. Maka, tak seharusnya anda melewatkan suasana malam kota Yogyakarta tanpa berkunjung ke Angkringan Lik Man. Nikmatilah nuansa yang pernah dinikmati oleh banyak orang Yogyakarta dan sejumlah tokoh yang disebut di atas.

sumber:http://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/traditional-culinary/angkringan-lik-man/